Triadnyanaadi Lokatanaya atau yang kini lebih dikenal dengan Tri Adiloka adalah salah seorang legenda bolabasket Indonesia. Tri sudah malang melintang sejak sebelum era Kobatama.
Mengawali berlatih di klub Merpati Bali, Tri kemudian memperkuat tim Pulau Dewata ke Pekan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia (POPSI) tahun 1986 yang membuat dia terpilih masuk Sekolah Olah Raga Ragunan Jakarta. “Saat di Ragunan saya masuk klub Merah Putih binaan tokoh Perbasi saat itu, Aoh Rosalam,” ceritanya.
Tahun 1988 dia sempat memperkuat klub Glory asuhan Danny Kosasih dalam sebuah turnamen. Bakat besarnya tercium boss Aspac, Irawan Haryono alias Kim Hong. “Koh Kim Hong kemudian menarik saya ke Aspac, waktu itu masih bernama Asaba,” tuturnya.
Tahun 1989 dan1990 ia masuk tim nasional pelajar Indonesia sekaligus tim nasional junior Indonesia hingga 1993. Meski masih berusia junior dia juga masuk tim nasional senior berlaga di FIBA Asia ditahun 1989-2001.
Tri juga masuk dalam tim nasional Indonesia untuk SEA Games 1991 hingga 1999. Tahun 2001 dia kembali terplih, tetapi batal masuk tim karena cedera. “Bahu saya cedera, tangan saya tak bisa diangkat,” katanya. Tri tak mau memaksakan, posisinya diganti pemain muda saat itu, Pek King Dhay. Uniknya, King Dhay terpaksa memakai jersey bertuliskan nama punggung Adiloka. “Tak apa, berarti saya memberikan kesempatan kepada pemain muda paling potensial saat itu,” ujarnya. Cedera itu bukan pertama dialami Tri. Tahun 1993 dia harus menjalani operasi setelah mengikuti SEA Games 1993. Operasi tersebut membuat dia harus absen berlaga di Pekan Olah Raga Nasional (PON) 1993. “Jadi saya tak pernah mengikuti PON, sebab PON berikutnya cabang bolabasket menggunakan aturan batasan umur,” tuturnya.
Tri setia bersama Aspac dari tahun 1989 hingga 2004. Dia kemudian semusim memperkuat Mitra Kalila, nama klub Pelita Jaya kala itu. Tahun 2005 dia pensiun sebagai pemain dan beralih ke bidang pelatihan.
“Coaching pertama saya bersama Citra Satria Pelita. Dua tahun bersama CSP kemudian pindah ke Indonesia Muda selama dua tahun, terus ke Garuda juga selama dua tahun. Kemudia setahun di Satria Muda, dua tahun di NSH GMC dan dua tahun bersama Stadium,” ceritanya.
Semasa masih bermain dia juga sempat menangani tim Pra PON Bali putra dan putri di tahun 2004 dan 2005.
Tahun 2015, Tri memutuskan kembali ke Bali. Dia mendirikan Adiloka Basketball Club. “Tahun ini kami juga mulai membuat ecvent organizer ASEO Indonesia, bergerak di bidang industri olah raga,” katanya.
Tri juga sempat menangani tim putri Sahabat Semarang (2016) dan GMC Cirebon (2017) berlaga di Piala Srikandi. Dia juga menjadi asisten pelatih tim nasional putri de SEA Games Myanmar 2013.
Dia pun kini juga masih tercatat sebagai pelatih tim mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara Tangerang. “Apapun jika sudah berbicara soal basket, kita akan berusaha berikan memberikan yang terbaik demi majunya bolabasket Indonesia,” tegasnya.
“Salut untuk IBL yang sudah semakin maju dan bertumbuh menjadi industri, tentu tetap harus melakukan perbaikan. Saran saya, siaran langsung televisi nasionalnya diperbanyak agar para pemain bolabasket nasional yang berlaga di IBL semakin dikenal masyarakat,” katanya
0 Comments